Sebuah upacara adat yang sangat unik kembali diadakan di Kabupaten Karanganyar, persisnya di Pendapa Pancot, Desa Kalioso, Kecamatan Tawangmangu. Pada Selasa, 22 Agustus 2023 kemarin masyarakat tumpah ruah di balai desa untuk menyaksikan dan mengikuti tradisi Mondosiyo atau abur ayam.
Mereka yang datang bukan hanya berasal dari Tawangmangu saja, bahkan banyak di antaranya yang datang dari Solo dan sekitarnya. Selain itu tidak sedikit pejabat yang turut hadir dalam upacara bersih desa tersebut. Apalagi mengingat penyelenggaraan budaya ini juga merupakan wujud syukur kepada Tuhan atas karunia yang diberikan.
Latar Belakang Tradisi Mondosiyo
Pada tahun 2022, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah memasukan tradisi Mondosiyo sebagai warisan budaya tak berbenda. Pergelaran adat ini bersumber dari sebuah cerita mitologi yang berkembang di tengah masyarakat.
Dalam mitos tersebut dikisahkan, pada zaman dulu ada raksasa bernama Prabu Boko yang suka memangsa anak. Tentu saja kegemaran tersebut menimbulkan malapetaka besar bagi warga desa, khususnya yang mempunyai anak kecil. Namun untungnya ada seorang ksatriya, Pengeran Tetuko yang berani melakukan perlawanan dan berhasil mengalahkan Prabu Boko.
Kemudian setelah Prabu Boko dapat dibinasakan, warga desa memperingati peristiwa ini melalui upacara tradisi Mondosiyo. Tradisi ini digelar setiap tujuh bulan sekali dan selaras penyebutannya, waktunya selalu bertepatan dengan hari Selasa Kliwon, Wuku Mondosiyo menurut perhitungan kalender Jawa.
Rangkaian Upacara
Pada penyelenggaraan tradisi Mondosiyo kemarin, acara diawali dengan pertunjukan kesenian reog. Dadak merak yang ditampilkan tidak hanya satu saja, tapi ada puluhan sekaligus. Para pemain tersebut melakukan atraksi secara pergantian dengan iringan musik gamelan yang ditabuh bertalu-talu.
Sementara itu dalam waktu yang bersamaan, terdapat sebagian warga yang bernazar dengan membawa sepasang ayam jantan dan betina. Setelah itu prosesi diteruskan lagi dengan pengambilkan air badek dari suatu punden dan setelah itu ada pembacaan doa yang dilakukan oleh sesepuh desa.
Usai pembacaan doa, air badek yang telah dimasukan dalam kendi disiramkan kepada segenap warga dan para pengunjung. Banyak yang mempercayai siraman air badek ini bisa memberi berkah, kelancaran rezeki, dan ketenteraman hati.
Selanjutnya upacara adat tersebut diakhiri dengan abur ayam atau rebutan ayam dan siapa saja boleh ikut berebut. Sama seperti siraman air bedek, tidak sedikit pula yang meyakini, apabila berhasil mendapatkan ayam tersebut akan memperoleh keberkahan. Selain itu acara rebutan ayam ini selalu mampu menghadirkan keunikan tersendiri.
Meski usianya sudah mencapai ratusan tahun, hingga saat ini tradisi Mondosiyo tetap terjaga kelestariannya. Bahkan dari waktu ke waktu jumlah pengunjungnya bertambah banyak. Lebih dari itu, upacara adat tersebut sudah menjelma menjadi atraksi wisata, terutama bagi pelancong yang punya kesenangan menyaksikan pertunjukan budaya.