Anak muda era 70 dan 80an, pasti sangat familiar dengan Deep Purple. Walaupun bukan penggemar musik, khususnya rock, setidaknya mereka kenal atau pernah mendengar nama grup band rock legendaris yang berasal dari Inggris itu. Gimana ga kenal, wong lagu-lagunya senantiasa wara-wiri, terdengar dari berbagai stasiun radio lokal, media hiburan utama anak muda masa itu. Kalaupun tidak menyukai lagu-lagu Deep Purple yang berirama hard rock, paling tidak mereka pernah mendengar bahkan sangat mungkin menyukai versi slow rocknya, seperti “Soldier of Fortune”, “When A Blind Man Cries” atau “Child in Time” yang komposisinya memuat gabungan dua irama tersebut. Apalagi buat penyuka irama keras, lagu-lagu seperti “Highway Star” dan “Smoke on the Water”, rasanya sudah jadi santapan harian.
Dibanding grup band rock lain, khususnya yang tergolong supergrup, Deep Purple terbilang paling sering melakukan pergantian formasi. Jika dirunut sejarah perjalanan musiknya, sejak secara resmi mulai menggunakan nama “Deep Purple” – setelah di awal berdiri menggunakan nama “Roundabout” – hingga saat ini, mereka sudah melakukan 9 kali pergantian formasi. Saking seringnya bongkar pasang personel, para fans Deep Purple di era 70-an menggunakan istilah “Mark” untuk menandai formasi atau susunan anggota grupnya. Penulisan Mark (sering juga disingkat “MK” atau “Mk”) selalu diikuti oleh angka, sesuai urutan kronologis periode pembentukannya.
Cikal Bakal Deep Purple – Proyek “The Roundabout”.
Sejarah Deep Purple dimulai saat Jon Lord dan Ritchie Blackmore dipertemukan oleh proyek idealis milik Chris Curtis (drummer, vokalis sekaligus pentolan band “The Searcher”) yang ingin membentuk band baru bernama “Roundabout” (Round About), dengan melibatkan Jon dan Ritchie. Ironisnya, justru saat Jon dan Ritchie sudah bersedia dan melakukan pertemuan dengan Tony Edwards yang akan berperan sebagai manajer band, Chris justru tiba-tiba menghilang. Dalam pertemuan di Desember 1967 itu, Jon, Ritchie serta Tony bersepakat melanjutkan proyek “Roundabout” walaupun tanpa Chris. Sementara Tony mengurus pendanaan proyek, Jon dan Ritchie bertugas merekrut personel. Jon lantas mengajak Nick Simper, pemain bass teman se-grupnya sewaktu di “The Flowerpot Men”. Sementara Ritchie merekrut bassist Dave Curtiss dan drummer Bobby Woodman. Formasi ini cuma berumur singkat. Diproklamirkan Februari 1968, lantas berakhir sebulan setelahnya, karena Jon dan Ritchie tidak sreg dengan permainan Dave maupun Bobby. Sebagai gantinya Jon dan Ritchie lantas membentuk formasi baru dengan membajak dua personel “The Maze” : Rod Evans, vokalis dan Ian Paice, drummer.
Setelah manggung beberapa kali dengan nama “Roundabout”, di bulan Maret 1968 Jon Lord, Ritchie Blackmore, Nick Simper, Rod Evans dan Ian Paice akhirnya menggunakan nama baru : “Deep Purple”, atas usul Ritchie, yang tiba-tiba teringat sebuah judul lagu instrumentalia yang jadi favorit neneknya, saat bermain piano. Lagu “Deep Purple” versi instrumentalia diciptakan oleh pianis Peter DeRose di tahun 1923, namun baru tahun 1933 resmi dipublikasikan sebagai komposisi piano. Lagu tersebut menjadi semakin populer setelah di tahun 1938 ditambahi lirik oleh penulis lirik Mitchell Parris. Duo kakak beradik “Nino Tempo & April Steven” meng-cover versi lirik lagu ini dan membuatnya jadi hit di tahun 1963.
Mark I (1968-1969) – Debut album sukses, Rod Evans dan Nick Simper terdepak.
Bongkar pasang personel lantas jadi trade-mark Deep Purple. Walaupun capaian debut album mereka : “Shades of Deep Purple” dengan lagu andalan “Hush” maupun album ke-2: “The Book of Taliesyn” dan album ke-3: “Deep Purple” cukup moncer dalam penjualan album dan single, hal itu tidak membuat duo pendirinya, Jon Lord dan Ritchie Blackmore, berhenti bereksperimen. Mereka ingin bermain di ranah heavy rock di periode berikutnya, yang tidak disetujui oleh Rod Evans dan Nick Simper. Di medio tahun 1969, keduanya pun lantas didepak dari grup, apalagi setelah Ritchie mendengar niatan Rod ingin hijrah ke Amerika Serikat.
Mark II (1969-1973) – Konser rock orchestra, formasi terbaik dan legendaris.
Setelah mendepak Rod Evans dan Nick Simper, untuk mengisi posisi vokalis, Ritchie Blackmore lantas mengajak Terry Reid, penyanyi rising star berusia 19 tahun saat itu, yang sayangnya lebih suka bersolo karir, apalagi masih terikat kontrak dengan produser lain. Ritchie pun lantas keluar-masuk pub untuk mencari pengganti, sampai akhirnya dia tertarik dengan Ian Gillan vokalis band “Episode Six”, yang secara kebetulan, pemain drumnya adalah teman lawas Ritchie semasa di “The Outlaws”: Mick Underwood. Mick pun lantas melakukan kesalahan terbesar yang disesalinya seumur hidup, yaitu mengenalkan Ian Gillan dan juga Roger Glover – bassist “Episode Six” – kepada Ritchie, yang sontak membajak keduanya ke Deep Purple. Sepeninggal Ian dan Roger, band “Episode Six” pun bubar.
Dalam sejarah panjang Deep Purple, formasi Mark II dinilai paling istimewa. Bukan hanya dari kualitas musik yang mereka tampilkan, tetapi juga publisitas dan dampak komersial yang dihasilkan. Dalam periode ini peran dan kebintangan Ian Gillan sebagai vokalis dengan lengkingan khas saat melahap nada-nada tinggi, maupun Ritchie Blackmore sebagai gitaris dengan petikan senar gitarnya yang unik, sangat menonjol dan dikenal dunia. Tanpa mengesampingkan Ian Paice dan Roger Glover, apalagi Jon Lord, roh-nya grup yang sangat berperan dalam penciptaan musik Deep Purple.
Di periode ini, tepatnya di September 1969, Deep Purple juga sukses membuat gebrakan yang sangat fenomenal, saat manggung di Royal Albert Hall, London berkolaborasi dengan Royal Harmonic Orchestra dengan konduktor Malcolm Arnold dalam sebuah konser rock orchestra, yang didokumentasikan dalam rilisan album live berjudul “Concerto for Group and Orchestra”.
Dari formasi ini lahir 4 album: “Deep Purple in Rock”, “Fireball”, “Machine Head” dan “Who Do We Think We Are” (plus “Made in Japan” sebuah double-live album yang hanya beredar di Jepang), dengan lagu-lagu yang lantas menjadi hit seperti “Speed King”, “Black Night”, “Highway Star” maupun sebuah lagu berdurasi panjang yang kemudian jadi trademark Deep Purple: “Child in Time”. Selain itu masih ada “Smoke on the Water” yang proses penciptaannya terinspirasi kebakaran Gedung Montreaux Casino, Swiss, yang saat itu sedang digunakan untuk rekaman konser live-nya “Frank Zappa and the Mothers of Invention”. Menurut rencana, Deep Purple juga akan menggunakan lokasi yang sama di jam berikutnya untuk merekam album “Machine Head”.
Akibatnya, Deep Purple terpaksa melakukan rekaman semua lagu yang sudah dijadwalkan, di sebuah hotel kosong di sekitar kasino tersebut, yang bernama Hotel des Alpes-Grand Hotel. Kecuali, lagu “Smoke on the Water” tentunya, karena notasi lagu yang ditulis Ian Gillan di lembaran tisu hasil menyaksikan momen kebakaran kasino tersebut harus diolah dulu. Di sesi ini, grup juga sempat merekam 2 buah lagu yang lantas dilepas sebagai single di tahun 1972, yaitu “Never Before” di side A, dan “When a Blind Man Cries” di side B-nya.
Karena Ritchie Blackmore tidak menyukai lagu ”When a Blind Man Cries”, Deep Purple tidak pernah menampilkannya secara live di panggung konser, selagi Ritchie masih jadi anggota band. Kecuali, saat manggung di Quebec, Kanada, 6 April 1972, sewaktu Ritchie sakit dan posisinya diisi gitaris pocokan, Randy California dari band “Spirit”.
Persaingan dan ketegangan antara Ian Gillan dan Ritchie Balckmore, disinyalir menjadi sumber keretakan grup. Di musim panas tahun 1973, sekembalinya dari tur di Jepang, formasi Mark II bubar, apalagi setelah Roger Glover meninggalkan grup. Dalam sebuah wawancara beberapa tahun kemudian, Jon Lord menyatakan bahwa bubarnya Mark II merupakan peristiwa paling memalukan dalam sejarah rock n roll. Apalagi, selama 4 tahun bersama, kinerja sebagai grup sangat istimewa.
Mark III (1973-1975) – Masuknya Glenn Hughes dan David Coverdale.
Sebelum cabut dari Deep Purple, bassist Roger Glover sempat merekomendasikan nama Glenn Hughes kepada Jon Lord dan Ian Paice, untuk direkrut buat menggantikannya. Glenn dinilai istimewa, selain sebagai bassist, diapun seorang vokalis handal. Glenn bersedia direkrut, dengan janji akan ada Paul Rodgers, vokalis band “Free” sebagai vokalis pendamping. Tapi sayangnya Paul sudah terlanjur membentuk band baru: “Bad Company”. Untuk melengkapi formasi 5 orang, Ritchie Blackmore pun lalu mengajak David Coverdale, penyanyi tidak terkenal tetapi maskulinitas dan warna blues suaranya disukai Ritchie.
Kehadiran Glenn Hughes dan David Coverdale sebagai duo vokalis, nyatanya mampu mempertahankan pamor Deep Purple masa itu, di tengah menguatnya aliran progressive rock yang melibatkan band-band terkenal lain seperti Yes, Emerson Lake and Palmer, King Crimson, Genesis, Gentle Giant, dll. Dari formasi ini lahir album “Burn” dan “Stormbringer” yang sukses besar di chart album Inggris maupun Amerika. Lagu legendaris “Soldier of Fortune” pun lahir dari formasi ini.
Mark IV (1975-1976) – Ritchie out, tampil di Jakarta, dan bubar karena narkoba.
Tanggal 21 Juni 1975, Ritchie Blackmore keluar dari grup buat membentuk grup baru bernama bersama Ronnie James Dio, mantan personel band “Elf”. Keluarnya Ritchie membuat grup nyaris bubar. Namun bayang kesuksesan “Burn” dan “Stormbringer” masih membuat grup bertahan, dan mencari gitaris baru. Dari puluhan nama yang diaudisi, akhirnya terpilih Tommy Bolin. seorang gitaris asal Amerika yang punya pengalaman berkolaborasi dengan para pemusik Amerika dari berbagai genre, termasuk Billy Cobham dan Alphonse Mouzon dari jalur jazz fusion.
Kehadiran Bolin yang memberi sentuhan baru dalam musik Deep Purple, sangat disukai anggota grup terutama Glenn Hughes dan David Coverdale. Sayangnya, kecanduannya terhadap narkoba membuat permainan gitarnya amburadul hingga dicemooh penonton ketika mencoba bersolo gitar menirukan aksi Ritchie Blackmore dalam tur “Come Taste the Band”, yang jadi satu-satunya album rilisan formasi Mark IV ini. Formasi Deep Purple inilah yang sempat manggung di Stadion Senayan, Jakarta, tanggal 4 dan 5 Desember 1975.
Setelah manggung terakhir di Liverpool Empire Theatre tanggal 15 Maret 1976 dalam rangkaian tur tersebut, Deep Purple lantas menyatakan diri bubar. Apalagi bukan cuma Bolin, Glenn Hughes pun menjadi pesakitan karena kecanduan narkoba. Bahkan, di tanggal 4 Desember 1976, Tommy Bolin ditemukan tewas akibat overdosis di usia 25 tahun.
Periode Mati Suri (1976 – 1984) – Rainbow, Whitesnake , dan Ian Gillan Band.
Setelah bubar, hampir semua mantan Deep Purple membentuk atau bergabung dengan band baru dan rata-rata terbilang sukses. Ritchie Blackmore membentuk “Rainbow”, yang di periode ke-3 formasinya, mengajak serta bassist Roger Glover. Ian Gillan membentuk “Ian Gillian Band”. Jon Lord dan Ian Paice membentuk “Paice Ashton & Lord”. Sementara David Coverdale membangun band “Whitesnake” dan bahkan mengajak Jon dan Ian bergabung ke formasi kedua. Aktifitas mantan Deep Purple yang tetap aktif bermusik di kala grup sudah bubar, dan keterlibatan mereka masing-masing dengan banyak musisi, ternyata sangat memberi manfaat di kemudian hari. Selain memperkaya referensi saat grup bangkit kembali. Paling tidak, saat harus mengisi formasi, tidak lagi via audisi atau blusukan dari pub ke pub lagi.
Mark II Reuni (1984-1989) – Reuni sukses, tapi Ian Gillan terdepak.
Di bulan April 1984, delapan tahun setelah grup dibubarkan, entah apa alasannya dan bagaimana ceritanya, tiba-tiba formasi kedua Deep Purple setuju untuk reuni. Alasan apapun atau cerita bagaimanapun bisa dibuat, tapi yang jelas, tawaran tur keliling dunia dari PolyGram, maupun tawaran merilis album baru untuk pasar Amerika oleh Mercury Records dan untuk pasar Inggris oleh Polydoor Records, sangat sulit buat ditolak. Ide reuni bisa jadi datang bukan dari pihak Deep Purple, dalam hal ini sangat mungkin kepentingan bisnislah yang mengemuka.
Dasarnya memang formasi Mark II sangat jempolan, maka rilisan 2 album selama masa reuni: “Perfect Strangers” (1984) dan “The House of Blue Light” (1987), langsung direspon bagus oleh penggemar. Album pertama reuni, “Perfect Stranger” bahkan langsung menduduki 5 besar album terlaris UK Album chart dan nomor 12 di Billboard 200 di Amerika. Juga jadi album kedua dalam sejarah Deep Purple yang berhasil meraih platinum, menyusul kelarisan album “Machine Head” (1972). Efek nostalgia reunion Mark II ini bahkan mampu mengatrol penjualan double live album “Made in Japan” (rilisan 1972, dan hanya beredar di Jepang), hingga mampu menembus platinum di Amerika di tahun 1986, sekaligus membuatnya jadi album ke-3 Deep Purple yang berhasil merebut platinum.
Keberhasilan reuni, ternyata tidak membuat dendam permusuhan lama antara Ritchie Blackmore dan Ian Gillan mereda. Mereka kembali bersitegang, hingga akhirnya di tahun 1989 Ritchie mendepak Ian dari grup sekaligus mengakhiri formasi reuni Mark II.
Mark V (1989-1991) – Joe Lynn Turner masuk, menggantikan Ian Gillan.
Setelah mendepak Ian Gillan, Deep Purple berencana merekrut Jimi Jamison – vokalis band “Survivor” yang pernah melahirkan hit “Eye of the Tiger” soundtrack dari film “Rocky III” – namun terpaksa urung karena Jim masih terikat kontrak dengan label lain. Sebagai gantinya, mereka lantas memilih Joel Lynn Turner, yang pernah se-grup dengan Ritchie dan Roger Glover di Rainbow. Formasi ini hanya melahirkan 1 album: “Slaves and Masters” rilisan tahun 1990 yang tidak terlalu sukses di pasar musik, maupun dalam paket tur dunia di 1991. Oleh para kritikus dan penggemarnya, warna musik Deep Purple periode ini dianggap lebih kental unsur “Rainbow”-nya Ritchie.
Mark II Reuni Ke-2 (1992-1993) – Ritchie ‘disuap’ agar mau damai dengan Gillan.
Di awal tahun 1992, formasi Mark V bersiap masuk dapur rekaman untuk membuat album baru lagi. Setumpuk lagu baru sudah disiapkan, termasuk beberapa karya Joe Lynn Turner, tiba-tiba datang tawaran sekaligus bujukan dari perusahaan rekaman, yang mengingatkan Deep Purple bahwa tahun 1993 merupakan momentum 25 tahun berdirinya grup. Sayang kalau dilewatkan tanpa melakukan sesuatu yang fenomenal dan menguntungkan secara komersial.
Sekali lagi, kekuatan bisnis bicara. Jon Lord, Ian Paice dan Roger Glover pun meresponnya dengan persetujuan untuk menyertakan Ian Gillan sebagai vokalis sesuai permintaan label. Hal ini tentu saja ditolak oleh Ritche Blackmore, yang tetap berusaha mempertahankan Joe sebagai vokalisnya. Setelah berkali-kali negosiasi, Ritchie akhirnya setuju mendepak Joe dan menerima Ian kembali ke grup, setelah memperoleh tambahan transferan 250 ribu dollar ke rekeningnya.
Alhasil, Mark II kembali reuni, melahirkan album “The The Battles Rages On” di tahun 1993 dan paket tur keliling Eropa. Sayangnya, selain penjualan album reuni kedua ini tidak sukses, perselisihan antara Ritchie dengan Ian dan bahkan akhirnya seluruh anggota grup semakin memuncak. Ritchie merasa Ian terlalu banyak campur tangan dalam merubah komposisi lagu yang sudah disiapkannya, dengan banyak mengurangi unsur melodinya. Ruang yang seharusnya menjadi milik Ritchie. Puncaknya, setelah show tanggal 17 Nopember 1993 di di Helsinki, Finlandia, untuk kedua kalinya dalam sejarah, Ritchie keluar dari grup dan menyatakan tidak akan kembali lagi ke Deep Purple.
Mark VI (1993-1994) – Ritchie pergi, Joe Satriani datang.
Saat Ritchie Blackmore memutuskan keluar dari grup, Deep Purple masih ‘berhutang’ konser di Jepang bulan Desember 1993 dan tur musim panas keliling Eropa di tahun 1994. Karenanya, grup segera merekrut gitaris Joe Satriani buat menggantikan Ritchie. Semula, Satriani diminta bergabung secara permanen, namun karena masih terikat kontrak dengan label Epic Records, maka yang bisa dilakukannya hanyalah membantu Deep Purple sebagai gitaris tamu, untuk menuntaskan tur.
Mark VII (1994-2002) – Steve Morse masuk, bikin rock orchestra lagi dan Jon Lord undur diri.
Tanggal 23 Agustus 1994, Deep Purple resmi merekrut Steve Morse, gitaris yang kurang begitu dikenal, walaupun sempat mendukung band “Kansas”. Kehadiran Steve buat mengganti Satriani, ternyata menguatkan kembali kreativitas grup dan memperkaya sentuhan musik yang ditampilkan. Formasi ini menghasilkan 2 album rekaman berjudul “Purpenducular” rilisan 1996 dan “Abandon” di tahun 1998.
Dalam periode Mark VII, tepatnya di September 1999, Deep Purple kembali tampil di Royal Albert Hall, London, buat menggelar ulang konser rock orchestra yang pernah mereka panggungkan 30 tahun sebelumnya semasa formasi Mark II. Kali ini, Jon Lord dan kawan-kawan berkolaborasi dengan London Symphony Orchestra dengan konduktor Paul Mann, yang lantas diabadikan dalam album “In Concert with London Symphony Orchestra” rilisan tahun 2000.
Akhir formasi Mark VII ditandai dengan mundurnya Jon Lord di tahun 2002. Pendiri Deep Purple bersama Ritchie Blackmore ini pamit dari panggung musik rock, untuk meneruskan minatnya menekuni musik orchestra. Sepuluh tahun kemudian, tepatnya tanggal 16 Juli 2012, Jon Lord wafat dalam usia 71 tahun di London.
Mark VIII (2002-2022) – Don Airey gabung, dan manggung lagi di Indonesia.
Selepas Jon Lord mengundurkan diri, posisinya lantas digantikan oleh Don Airey, pemain kibor eks teman segrup Roger Glover semasa di “Rainbow” periode 1979-1982. Sebelumnya, Don juga pernah membantu Deep Purple menjadi pengganti sementara buat Jon yang cedera lutut di tahun 2001. Formasi Mark VIII terbilang produktif merilis album, walaupun hasil penjualannya tidak menggembirakan, yaitu “Bananas” (2003), “Rapture of the Deep” (2005), “Rapture of the Deep – Special Edition” (2006), “Now What” (2013), “Infinite” (2017), “Whoosh!” (2020), dan “Turning to Crime” (2021).
Formasi Mark VIII inilah yang pernah 2 kali mampir ke Indonesia buat berkonser. Pertama di Plennary Hall Jakarta Convention Center (JCC), Jakarta, tanggal 30 April 2022, dan yang kedua, berselang 2 tahun sesudahnya, malah sempat 2 kali manggung, masing-masing di Stadion Tenis Indoor Senayan Jakarta, tanggal 12 April dan di Taman Budaya, Garuda Wisnu Kencana (GWK), Bali tanggal 15 April 2004.
Mark IX (2022-sekarang) – Steve Morse mundur diganti Simon McBride.
Di bulan Maret 2022, gitaris Steve Morse menyatakan cuti sementara dari Deep Purple, untuk mendampingi istrinya yang menderita kanker. Sebagai gantinya, grup lantas merekrut Simon McBride, gitaris eks band “Sweet Savage” dari Irlandia Utara, dan menjadikannya sebagai personel sementara. Namun setelah di tanggal 23 Juli 2022 Steve mengumumkan bahwa dirinya cabut permanen dari grup buat merawat istrinya, maka di bulan September 2022 Simon lantas diangkat sebagai anggota tetap.
Formasi inilah yang menggawangi Deep Purple menjalani tur dunia sepanjang tahun 2023, termasuk berencana menyempal mampir lagi ke Indonesia buat berkonser di Solo, tanggal 10 Maret 2023 di Edutorium Kyai Haji Ahmad Dahlan Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Sukoharjo; memanfaatkan celah waktu yang ada setelah kelar manggung di Steinmetz Hall, Orlando, Florida, Amerika tanggal 21 Februari 2023, dan sebelum tampil manggung di Budokan Hall, Tokyo, Jepang tanggal 13 Maret 2023.
Diolah dari berbagai sumber.
Sumber berita, foto dan image : wikipedia.org; facebook.com/deeppurpleofficial; grunge.com; deeppurple.com; google.com; facebook.com/deeppurpleclassic; facebook.com/deeppurplemk1; fayerwayer.com; jakartadaily.id