Para penabuh gamelan siap menjalankan tugasnya di depan kelir wayang kulit pada Minggu malam 25 September 2022 pukul 19:30 WIB di Pendapa Ageng Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta. Beragam wayang dengan ukuran bevariasi tersusun rapi di sisi kanan dan kiri kelir. Ada yang berpenampilan raja, prajurit, raksasa, dewa, rakyat jelata, dan lainnya.
Kilatan cahaya kuning dari lampu sebagai pengganti blencong mampu menghadirkan suasana yang lebih semarak. Kehadiran enam sinden dengan busana seragam kebaya ungu dan kombinasi jarik aksen putih membuat atraksi budaya ini semakin memikat di hati para penggemar pertunjukan wayang kulit.
Semua penonton yang jumlahnya mencapai ratusan orang tersebut duduk lesehan di area pendapa. Sebagian ada yang menghadap langsung ke panggung, tapi tidak sedikit pula yang lebih tertarik mengambil posisi di belakang panggung dengan alasan ingin menyaksikan pertunjukan dalam bentuk bayangan.
Mereka tidak hanya datang dari golongan tua saja, justru sebagian besar adalah muda usia. Hendra Dwi Saputra yang masih berusia 21 tahun menjadi salah satu penggemar wayang dari generasi milenial.
Dia mengaku sangat rindu dengan pertunjukan wayang kulit, bahkan sejak SMP baru sekarang mendapat kesempatan menyaksikan atraksi ini secara langsung. Dia datang bersama teman-temannya dari kampus yang sama. Hendra adalah seorang mahasiswa jurusan sastra Jawa, sehingga sangat tertarik dengan dunia wayang.
Yonantha Chandra Premana dari Solopos selaku pemangku acara ini mengungkapkan bahwa pihaknya menggelar pertunjukan wayang kulit dengan tujuan agar kesenian ini dapat lebih berkembang di tengah oleh masyarakat. Selain itu juga untuk melestarikan budaya Indonesia khususnya Jawa.
Dalang Ki Anom Suroto dan Ki Bayu Aji Pamungkas
Pentas wayang kulit yang mengambil lakon Amarta Binangun tersebut menampilkan dua dalang sekaligus, Ki Anom Suroto dan anaknya Ki Bayu Aji Pamungkas. Sesaat sebelum mengadakan atraksi, Ki Anom menceritakan bahwa tokoh utama yang akan muncul dalam lakon ini adalah Pandawa.
Selain itu ditampilkan pula semar yang merupakan representasi atau contoh pemimpin bijaksana dan selalu mengutamakan kepentingah rakyat. Pertunjukan diawali dengan dialog antara Bratasena dan Prabu Kresna. Dalam pembicaraan ini, Kresna memberi ketegasan bila pemimpin itu harus berani bertindak jujur serta tidak boleh melakukan kebohongan.
Menurutnya pada masa sekarang makin banyak orang yang mengalami perubahan jati diri. Misalnya mudah marah atau cepat kehilangan kontrol diri dan tidak sabar ketika menghadapi masalah, serakah, hingga lupa dengan asal usul sendiri.
Sehingga mereka harus berusaha mengembalikan jati diri tersebut sebagai sosok yang ramah. Kemudian pada akhirnya nanti orang-orang ini bisa mempunyai wawasan luas dan berhasil menuju amarta atau keabadian yang serba baik.
Hingga pertunjukan ini berakhir, sebagian besar penonton tidak beranjak dari tempat duduknya. Ini menandakan jika wayang kulit masih digemari oleh masyarakat karena dianggap bukan sebagai tontonan hiburan belaka, namun juga memuat banyak ajaran moral.